AKU
MEMILIH IBUKU
(Purwa Kinanti)
Pagi
yang cerah di awal bulan Desember terasa begitu ramah dan hangat. Mengantarkan
siswa-siswi SMP N 1 Bandungan memasuki kelas masing-masing dengan ceria setelah
mengikuti upacara bendera. Hari ini upacara terakhir di semester satu. Senin
depan sudah ulangan akhir semester. Pak Amir selaku Pembina Upacara menegaskan
agar para siswa betul-betul mempersiapkan diri dalam mengikuti tes.
Menunggu pelajaran jam ke-2, para siswa kelas 8A
sibuk memperbincangkan persiapan mereka
menghadapi tes akhir semester. Fira, layla, Nikmah, Imma dan semuanya nampak begitu
antusias Namun tidak dmikian dengan Aisyah. Cewek cantik berambut panjang itu
kelihatan muram. Dia yang biasanya ceria dengan gaya bicaranya yang
ceplas-ceplos, kini hanya terdiam di bangku sambil menyangga dagunya. Wajahnya
ditekuk Sembilan puluh derajad. Bibir manisnya manyun. Belum sekalipun melempar
senyum sejak pagi tadi. Layla, sahabat kentalnya mencoba mendekati dan
mengajaknya berbincang.
“Ai, ngapain cembetut aja kaya gitu? Jadi jelek
tahu nggak? Terduduk, membungkuk kaya burung pelatuk yang lagi takuuut.
Ha...ha...” Layla mencoba menggoda Aisyah untuk mencairkan suasana. Aisyah
hanya melengos dengan bibir tetap manyun. “Ada apa sihc, cerita dong Ai”, pinta
Layla.
“Aku lagi sebel sama Bagas. Sebbbeeeel selangit.”
Jawabnya singkat.
“Makanya, dengerin apa kata Bu Eko. Kita tidak
perlu komitmen pacaran dulu. Pentingin belajar menuntut ilmu setinggi langit
untuk bekal masa depan. Kalau sudah waktunya, jodoh pasti akan datang dengan
sendirinya. Lagian, apa sihc menariknya si Bagas. Anaknya berandalan gitu, suka
kebut-kebutan, trus bangga-banggain kekayaan orang tua. Ii iih, dibandingin
kamu Ai kaya bumi dan langit. Berbanding terbalik 180 derajad. Kamu aja cantik
dan pintar. Cowok satu sekolah juga siap-siap ngantri jadi pacar kamu.” Layla
berbicara dengan lihainya memainkan kata-kata.
“Iya-iya, kaya Emak-Emak aja kamu. Sok kasih
nasehat.” Jawab Aisyah sambil mengangkat muka. Mendung di wajahnya sudah mulai
mencair. Begitu ganti jam pelajaran seluruh siswa kelas 8A mengikuti pelajaran
dengan antusias sampai jam pelajaran selesai.
Bel pulang sekolah berbunyi, Bagas sudah menunggu
Aisyah di depan kelas. “Gimana, bisa apa tidak nanti sore keluar?” Dia
mengulangi kembali permintaannya tadi pagi. “Aku kan sudah bilang nggak bisa,
kenapa ditanya-tanyain lagi sihc? Aku mau nemanin ibu ke rumah bulik di
Sidomukti. Lagian minggu depan sudah tes akhir semester kok malah ngajak main”
Jawab Aisyah ketus. “Jadi tetap tidak mau?”
“Iya, tidak mau ya tidak mau!”
Gedebug. Bagas melemparkan tasnya. “Kamu, apaan
sih, apa-apa ibu, sedikit-sedikit ibu.” Ditendangnya kerikil sampai mental jauh
dan kena batang pohon. Thaar.
“Hey, dengar ya, Ibuku itu segalanya bagiku.
Selama Sembilan bulan aku mengendap di perutnya. Dua tahun lebih aku hidup
bergantung dari air susunya. Tentu saja aku lebih mentingin ibuku. Memangnya
siapa kamu, haa? Sehingga harus lebih penting dari ibuku. Kamu tidak dapat
mengatur-atur aku seenak perutmu, tahu!” Aisyah menyahut dengan nada marah.
Entah keberanian yang datang darimana, tiba-tiba dia berani berteriak lantang.
Mungkin kata-kata Layla tadi begitu dalam membekas dalam benaknya.
“Ooo, jadi begitu ya, aku ini tidak penting
buatmu? Kau anggap apa aku selama ini?” Bagas menyahut, tidak kalah berangnya.
“Kamu maunya aku anggap apa? Aku mau jadi diriku
sendiri. Aku tidak mau kau atur-atur. Sekarang aku hanya ingin focus menghadapi
ulangan akhir semester minggu depan. Sekolah dan belajar buatku lebih utama,
karena aku tidak mau mengecewakan ibu. Ibuku sudah berjuang mati-matian untuk
menghidupi dan membiayai sekolahku. Aku harap kau bisa memahami ini.”
“Kalau begitu, lebih baik....”
“Apa? Lebih baik kita putus saja. Ya, mulai
sekarang aku dan kamu, end”.
Aisyah pun segera melangkah meninggalkan Bagas
tanpa menoleh lagi. Keputusan sudah dia tetapkan. Maka apapun resikonya, akan
dihadapinya dengan lapang dada. Dia akan
menjalani hidupnya dengan keceriaan seperti dulu. Belajar bersama Layla, Fira,
Nikmah dan Imma merupakan dunia yang menyenangkan baginya. Tujuan utama
hidupnya adalah membahagiakan orang tua yang tinggal satu-satunya, yaitu
ibunya.
---------- selesai ----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar