LARAS SI PEJUANG CILIK
(Oleh : Purwa Kinanti)
Siang
nan terik, angin terasa begitu kering dan panas mentari terasa menyengat kulit.
Seperti biasa Fenita pulang sekolah
berjalan kaki. Sepanjang jalan pulang terhampar padi yang mulai menguning.
Kampung tempat tinggalku memang agak jauh dari jalan umum. Dusun Cikarang
namanya. Dusun kecil yang terletak di pinggiran perkebunan karet.
Aku berhenti sejenak di bawah pohon randu
di pinggir jalan.
“Ah...lumayanlah, bisa
menikmati teduhnya pohon randu ini” gumanku sambil menghela nafas. Di kejauhan
ku lihat sosok gadis kecil berjalan ke arahku. Gadis cilik yang memakai seragam
putih merah itu menenteng termos es dan baki di tangannya. Dan tas hitam yang
sudah kusam bergantung dipunggungnya.Tak lama dia sudah sampai ditempat aku
berdiri.
“Assalamu’alaikum mbak Fe”,
dia menyapaku.
“Wa’alaikum salam, kok sampai
jam segini baru pulang Ras”, jawabku balik bertanya.
“Iya mbak, tadi menghabiskan
dagangan di perumahan dekat sekolah terlebih dahulu” Jawab Laras.
“Ooh gitu ya...” jawabku
lagi.
“yuk lanjutin jalan, sini
biar aku bawakan bakinya”. Ajakku sambil menawarkan bantuan padanya.
“ Nggak usah mbak, terima
kasih, ini sudah kosong, enteng kok mbak” Ia menolak dengan halus.
Diam-diam aku memandangi
Laras dari belakang. Sungguh aku begitu mengagumi sosok gadis cilik ini.
Kulitnya coklat kehitaman, rambutnya agak kemerahan diikat dengan karet gelang,
ia tampak begitu tegar menghadapi hidupnya. Tak pernah terlontar keluhan dari
bibirnya yang mungil. Dia harus berjuang membantu ibunya mencari uang untuk
kehidupan sehari-hari. Bapaknya sudah meninggal karena sakit dua tahun yang
lalu. Setiap hari dia pergi ke sekolah sambil berjualan es buah dan makanan
ringan.
Aku jadi malu sendiri melihat
ketegaran bocah ini. Aku yang sudah pelajar SMA masih sering mengeluh, hanya
karena jalan kaki kepanasan. Padahal aku tidak membawa beban apa-apa. Aku yang
tiap pagi dikasih uang saku sama ibu, kadang-kadang masih minta ini dan itu.
Aku masih punya dua orangtua yang menyayangiku, sedang Laras....
“Yaa Allah, ampunilah aku
yang sering membuat sedih kedua orangtuaku”, do’aku dalam hati.
Tak terasa sudah sampai depan
rumahku. Lamunankupun buyar.
“Ras, mampir ke rumah mbak
Fe, yuuk”. Ajakku pada si Laras.
“Yaa, makasih mbak, sudah
hamper sore, Laras harus mbantuin ibu membungkus es buah, Mbak Fe, kapan-kapan
ajari Laras bikin puisi ya”, pinta Laras padaku.
“Iya , datang aja ke rumah”.
Ia melanjutkan jalan dan aku
masuk rumah.
“Assalamu’alaikum”, aku
mengucap salam dan memasuki rumah.
“wa’alaikum salam” ibuku menjawab sambil
muncul dari belakang.
Aku menyalami dan mencium
tangan ibuku.
“Sama siapa tadi Fe?” Tanya
ibu.
“Sama Laras bu, hebat sekali
anak itu”.
“Iya, Bi Ruminah beruntung
sekali punya anak yang rajin dan ta’at kaya Laras” tungkas ibu. “Ya sudah, kamu
sholat, makan terus istirahat dulu ya”. Akupun
bergegas ganti baju dan segera ambil air wudlu.
Sore hari, habis sholat
magrib berjama’ah aku buru-buru masuk kamar. Ibu mengikutiku di belakang.
“Ada apa Fe, kenapa buru-buru?”
Tanya ibu padaku.
“Aku mau belajar nulis cerita ibu, Perpusda kabupaten Semarang
mengadakan lomba cipta puisi dan cerita. Dan akan diseleksi tingkat sekolah terlebih dahulu, kegiatan ini diadakan dalam rangka memperingati bulan bahasa ibuku sayang”.
“Ya sudah, nanti jangan lupa
makan malam ya...” pesan ibuku lalu berjalan ke dapur.
Akupun mulai berpikir, cerita
apa yang akan kutulis. Akupun teringat pada si Laras. Dan tik tik tik, aku
mulai menulis. Sebaris, dua baris kalimat. Sehalaman, dua halaman dan
seterusnya mulai memenuhi layar komputerku. Sampai akhirnya selesai dan aku
beranjak tidur.
Paginya ibu membangunkanku.
Aku bergegas mandi, sholat, siap-siap berangkat ke sekolah. Selesai sarapan aku
pamitan sama bapak dan ibu. “ Fe berangkat dulu, Assalamu’alaikum”. Aku mencium
tangan bapak ibu. “Wa’alaikum salam, hati-hati”, jawab mereka serentak.
Bergegas aku turun dari rumah
dan kulihat Laras menenteng termos dan membawa baki penuh makanan.
“Sini Ras, aku bawakan
termosnya”, tawarku sama Laras.
“Tapi berat mbak”.
“Kamu aja bisa, masa aku
nggak sih”. Kamipun berjalan bersama.
Sampai di persimpangan jalan
di sawah,
“Aku lewat sawah aja Mbak Fe,
biar lebih dekat, makasih ya udah dibantuin”, kata Laras.
Aku mengangguk, terus
melanjutkan jalan sampai pertigaan jalan tempatku menunggu angkot.
Dua minggu kemudian, di hari
Senin dilaksanakan upacara bendera. Sampailah pada acara pengumuman-pengumuman.
“Pengumuman hasil lomba cipta
puisi dan menulis cerita dalam rangka memperingati bulan bahasa tahun 2013”.
Suara pembawa acara bergema.
“Untuk lomba cipta puisi, jauara 3 diraih oleh Aditya kelas 10 A, juara 2 diraih oleh Cyndi
kelas 11 IPS2, dan 1 diraih oleh Anyndya kelas 11 IPA1”.
Selanjutnya diumumkan hasil
lomba menulis cerita oleh pembawa acara, “juara 3 diraih oleh Purnomo kelas 12
IPA 2 dengan judul Pahlawan dari Sebrang,
juara 2 diraih oleh Anisa kelas 12 Bahasa dengan judul Cinta Di Putih Abu-abu, dan juara pertama dimenangkan oleh Fenita
kelas 11 IPA 2 dengan judul Laras Si
Pejuang Cilik”. Teman-temanku
bersorak, dan aku melompat kegirangan.
Sampai
di rumah aku langsung menghambur ke dapur mencari ibu.
“Ibu...ibu... “ aku memanggil-manggil ibu.
“Ada
apa sih, anak ibu kegirangan banget”, sela ibuku. Aku menubruk ibu, “Ibu,
Laaras Si Pejuang Cilik” dapat juara I bu, dan aku akan diikutkan
dalam lomba menulis cerita di PERPUSDA
Kab. Semarang”, aku nyerocos saking gembiranya.
“Apa maksudnya, ibu bingung
dehc”.
“Aku kan ikut lomba menulis
cerita, aku dapat inspirasi dari ketegaran hidup Laras Bu, dan Alhamdulillah menang di sekolah
bu”.
“oooh
begitu rupanya, ibu juga punya cerita tentang Fenita Pahlawan Hati Dari Kampung
Cikarang”, ibu bercanda.
“A
aah Ibu bisa saja dehc”, akupun memeluk ibuku.
“Assalamu’alaikum,
mbak Fe aku dapat juara cipta puisi yang kemaren”, Laras datang ke rumahku
dengan penuh kegembiraan.
“
Wa’alaikum salam, oh
ya? kami turut
gembira Ras, terus semangat ya..., terus belajar dan belajar lagi, jangan pernah berhenti
mengejar mimpimu!”
Jadilah Laras si pejuang cilik, menjadi
sumber inspirasi.
------- sampai
jumpa -------