MENU

BERSEMI DI BULETIN



BERSEMI DI BULETIN
Oleh : Eko Purwanti, S.Pd.

“Ayo guys, pacu semangatmu! Tiga hari lagi Spegazine Edisi 3 harus siap masuk percetakan, karena akhir September ini harus terbit”, begitu komando Pak Amin Ma’ruf sang pembimbing bulletin SMP N 3 Bawen. Makanya nih, anak-anak Buletin pada super sibuk. Sepulang sekolah, lima sekawan personil bulletin Spegazine mesti lembur sampai sore menjelang terbit begini.
            Aku kenalin satu persatu team kami ya Guys. Heru Pambudi adalah pemimpin redaksi kami. Cowok super keren ini mempunyai talenta yang luar biasa. Dia selalu pegang rangking 1 sejak kelas tujuh, nggak pernah tergeser, bahkan tahun lalu dia pegang juara olympiade IPA se kabupaten Semarang. Selain itu dia juga jago main gitar dan nyanyi lho..., keren kan? Andri dan Intan sang editor jagoan nggambar kartun. Mereka juga selalu pegang posisi nilai tertinggi untuk pelajaran bahasa inggris. Rindi Antika sang reporter, tak kalah hebatnya. Wow, gaya bicaranya yang cas...cis...cus, selalu berhasil membidik dengan tajam semua narasumber yang diwawancarainya. Rindi juga jagoan dalam hal potret-memotret, makanya dia juga sekaligus jadi fografer di bulletin kami. Cuma, nyebelinnya, dia sok-sokan dekat dengan Heru, hu u uh. Aku sendiri pegang di rubric sastra. Urusan fiksi, puisi dan sebangsanya jadi bagianku. Tapi, bidang akademik pun tak ketinggalan lho, aku juga selalu masuk peringkat lima besar tiap semester, hi..hi... nyombong dikit boleh dong.
            “Hay...Mifta, ngapain bengong aja Neng?” tiba-tiba Heru mengagetkanku dari lamunan. “Iya..., dasar tukang ngayal tuh si Miftahul”. Rindi Antika langsung menyambung pembicaraan Heru. “Yee, biarin aja, daya imajinasi tinggi menunjukkan kecerdasan otak kanan kan, ndak perlu sewot gitu Rind”. Aku tak mau kalah membombardir pembicaraan Rindi Antika. “Sudah-sudah, malah pada ribut sendiri ah, Neng Mifta gimana sudah siap untuk rubric sastra?” Duuh, sejuk, chees rasanya hatiku, Si Heru memanggilku Neng Mifta. Ribuan kuntum bunga langsung berhamburan keluar dari dadaku rasanya. “Siap, bos. Aku sudah pilih tiga puisi yang dikirim siswa kelas 7 dan kelas 8, untuk esai budaya aku pilih dari kelas kita 9A, untuk cerpennya tulisanku sendiri, dijamin bakalan menyita seratus persen perhatian pembaca dech”.
            Kamipun kembali asyik dengan dengan kesibukan masing-masing. Jari-jemari begitu lincah menari-nari, hinggap dari tuts ke tuts lainnya pada keyboard computer. Bagaikan burung pipit yang meloncat dari dahan ke dahan pada pohon di halaman sekolah dengan begitu riangnya. Hembusan angin dingin di bulan September yang mengelus membelai kulit tak terasa karena saking asyiknya kami. Tak terasa mata telah menjelajah dari halaman ke halaman berikutnya pada layar computer.
            “Sudah jam 4 Brow, gimana sudah kelar semuanya?” Heru sang redaktur sudah mulai mengecek pekerjaan untuk semua bidang. “Profil dan Tokoh, serta laporan utama sudah siap”, Rindi Antika menjawab. “Rekaman peristiwa, kartun dan anekdot juga sudah beres”, Intan juga tak mau kalah. “Mifta gimana, beres pa masih ada yang kurang, Neng?”           Heru langsung bertanya padaku, karena aku masih diam.  “Ok, siap juga”, aku menjawab singkat. “Siip lah, besok semua data ditransfer ke Andri dan Intan untuk editing terakhir, sekarang kita pulang dulu sudah sore, Rindi rumahnya dekat pulang sendiri, Intan dibonceng Andri, dan Mifta biar aku antar”. Dug...jantungku langsung berdebar. Gaya kepemimpinan Heru memang luar biasa. “Hu uh, selalu saja Si Mifta dimanjain”. Rindi Antika cemberut dan aku hanya senyum-senyum.
            Happy juga menjelang penerbitan bulletin gini, meskipun harus lembur-lembur sampai sore, Heru selalu perhatian dan mengantarku pulang. Cewek mana sih yang nggak suka diperhatiin sama Heru. Cowok keren idola para cewek satu sekolah. Sang Redaktur ini memang beda dari yang lain. Segudang aktifitas dia jalani, sebagai pemimpin bulletin sekolah, sebagai pengurus OSIS dan juga karate, tapi prestasi akademik tetap saja mencuat di permukaan.
            Heru menghentikan motornya. “Dah sampai Neng, keenakan ya nongkrong di boncenganku?” Waduh ternyata sudah sampai depan rumahku, aku tidak menyadarinya. Aku malu sekali dia meledekku begitu. Tidak terbayang pasti mukaku merah padam. Dia menstandar motornya di halaman dan turun, tumben biasanya langsung pulang.” Silakan duduk”, aku persilakan dia duduk di teras dan terus masuk mengambil minum. “Assalamu’alaikum...Ibu”. “Wa’alaikumsalam, Mifta sama siapa?” Ibu menyahut dari ruang tengah. “Sama Heru, Bu”. Aku langsung ke belakang ambil minum dan terus keluar lagi.
            “Nih, silakan minum dulu”. Kuletakkan minuman di meja, terus duduk disebelahnya. Heru asyik membuka-buka majalah Idola yang ada di meja. Sejenak kami saling diam. Aku tidak tahu mau bicara apa. Kuarahkan pandangan ke jalan, orang sibuk lalu-lalang pulang dari kerja atau dari sawah. Sesekali angin kering berhembus membawa debu setiap kali ada kendaraan yang lewat. Pohon-pohon nampak gersang dan kekeringan dengan daun-daun tertutup oleh debu. “Mif, ada yang mau aku omongin”, tiba-tiba Heru membuka pembicaraan. “Iya...apaan, tentang bulletin, tadi kukira sudah beres semua”. “Bukan, soal Rindi”. Ada apa dengan Rindi? Kenapa dia membicarakan Rindi di depanku? Perasaan aku tidak ada masalah dengannya. Kami semua care dan baik-baik saja.
            “Eh...eh...malah bengong Neng”. Dia menggodaku sambil mengibaskan majalah ke wajahku.
“Nggak, ada apa memangnya”.
“Kedekatanku dengan Rindi sebatas hanya demi perkembangan bulletin sekolah kita saja. Tidak ada hubungan istimewa seperti yang kau pikirkan, jadi tidak perlu saling cemberut kalau pas kerja bareng”. Ih, siapa juga yang cemberut, sok banget nih cowok. Seperti tahu yang aku pikirkan diapun melanjutkan bicaranya. “Aku tahu kalian berdua seperti saingan ketika aku berada ditengah-tengah kalian. Tapi sebagai pemimpin aku harus bisa merangkul semuanya. Tapi... yang terselip di hatiku adalah kamu Mif”. Aku terperanjat, hampir saja terloncat dari kursi, entah karena kaget atau saking girangnya hatiku. “Kamu mau kan jadi pacarku?” Aku diam tak menjawab sampai dia menegaskan lagi. “Gimana...?” Aku hanya mengangguk, Heru tersenyum padaku.
“Ya...sudah sore aku pulang dulu ya, assalamu’alaikum”.
“Wa’alakum salam, hati-hati ya”. Dia tersenyum mengangguk, dan terus menstater motornya. Aku bahagia, hatiku berbunga-bunga. Sambil bersenandung aku masuk ke rumah untuk segera mandi. “Heppy banget anak ibu, pastinya ada apa ini?”. Ibuku bertanya. “Pastinya bu, semua sudah beres hari ini, akhir bulan bulletin bakalan terbit memukau dech”. “Syukurlah, ibu jadi gembira mendengarnya”.
Hari-hari di sanggar Spegazine serasa begitu cepat, hingga tiba waktu penerbitan  edisi 3 di akhir bulan September. Sekarang mulai merancang untuk penerbitan edisi 4 pada tiga bulan mendatang. Kami berlima selalu kompak dan ceria dalam bekerja. Di bulletin ini berperan sebagai wahana pengembangan diri dan tempat yang telah membuat bunga-bunga dihatiku bersemi. 


----------  selesai  ----------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar